Sabtu, 04 Mei 2013

makalah hukum keuangan dan perbankan syariah


MAKALAH
HUKUM KEUANGAN DAN PERBANKAN SYARIAH

PERBEDAAN SISTEM KEUANGAN SYARIAH
DAN KONVENSIONAL






Disusun Oleh:
Kelompok VI

1.      Ruslan
2.      Ismail Fahmi

Dosen Pembimbing: Meri Afrizal,

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)
 MA’ARIF SAROLANGUN
TAHUN AKADEMIK 2012/2013

BAB I
PENDAHULUAN
Bank syariah adalah bank yang beroperasi berdasarkan syariah atau prinsip agama Islam. Sesuai dengan prinsip Islam yang melarang sistem bunga atau riba yang memberatkan, maka bank syariah beroperasi berdasarkan kemitraan pada semua aktivitas bisnis atas dasar kesetaraan dan keadilan.
Perbedaan yang mendasar antara bank syariah dengan bank konvensional, antara lain :
1.      Perbedaan Falsafah
Perbedaan pokok antara bank konvensional dengan bank syariah terletak pada landasan falsafah yang dianutnya. Bank syariah tidak melaksanakan sistem bunga dalam seluruh aktivitasnya sedangkan bank kovensional justru kebalikannya. Hal inilah yang menjadi perbedaan yang sangat mendalam terhadap produk-produk yang dikembangkan oleh bank syariah, dimana untuk menghindari sistem bunga maka sistem yang dikembangkan adalah jual beli serta kemitraan yang dilaksanakan dalam bentuk bagi hasil. Dengan demikian sebenarnya semua jenis transaksi perniagaan melalu bank syariah diperbolehkan asalkan tidak mengandung unsur bunga (riba). Riba secara sederhana berarti sistem bunga berbunga atau compound interest dalam semua prosesnya bisa mengakibatkan membengkaknya kewajiban salah satu pihak seperti efek bola salju pada cerita di awal artikel ini. Sangat menguntungkan saya tapi berakibat fatal untuk banknya. Riba, sangat berpotensi untuk mengakibatkan keuntungan besar disuatu pihak namun kerugian besar dipihak lain, atau malah ke dua-duanya.
2.      Konsep Pengelolaan Dana Nasabah
Dalam sistem bank syariah dana nasabah dikelola dalam bentuk titipan maupun investasi. Cara titipan dan investasi jelas berbeda dengan deposito pada bank konvensional dimana deposito merupakan upaya mem-bungakan uang. Konsep dana titipan berarti kapan saja si nasabah membutuhkan, maka bank syariah harus dapat memenuhinya, akibatnya dana titipan menjadi sangat likuid. Likuiditas yang tinggi inilah membuat dana titipan kurang memenuhi syarat suatu investasi yang membutuhkan pengendapan dana. Karena pengendapan dananya tidak lama alias cuma titipan maka bank boleh saja tidak memberikan imbal hasil. Sedangkan jika dana nasabah tersebut diinvestasikan, maka karena konsep investasi adalah usaha yang menanggung risiko, artinya setiap kesempatan untuk memperoleh keuntungan dari usaha yang dilaksanakan, didalamnya terdapat pula risiko untuk menerima kerugian, maka antara nasabah dan banknya sama-sama saling berbagi baik keuntungan maupun risiko.
3.      Kewajiban Mengelola Zakat
Bank syariah diwajibkan menjadi pengelola zakat yaitu dalam arti wajib membayar zakat, menghimpun, mengadministrasikannya dan mendistribusikannya. Hal ini merupakan fungsi dan peran yang melekat pada bank syariah untuk memobilisasi dana-dana sosial (zakat. Infak, sedekah)
4.      Bagaimana Nasabah Mendapat Keuntungan
Jika bank konvensional membayar bunga kepada nasabahnya, maka bank syariah membayar bagi hasil keuntungan sesuai dengan kesepakatan. Kesepakatan bagi hasil ini ditetapkan dengan suatu angka ratio bagi hasil atau nisbah. Nisbah antara bank dengan nasabahnya ditentukan di awal, misalnya ditentukan porsi masing-masing pihak 60:40, yang berarti atas hasil usaha yang diperolah akan didisitribusikan sebesar 60% bagi nasabah dan 40% bagi bank. Angka nisbah ini dengan mudah Anda dapatkan informasinya dengan bertanya ke customer service atau datang langsung dan melihat papan display “ Perhitugan dan Distribusi Bagi Hasil” yang ada di cabang bank syariah.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Perbedaan Sistem Keuangan Syariah dengan Konvensional
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” QS. Ali Imron, 3:130
Berbicara mengenai perbankan syariah sebenarnya tidak lengkap tanpa mengurai bagaimana sejarah, tujuan penerapan prinsip syariah, batasan-batasan prinsip syariah, jenis produk pembiayaan syariah, ketentuan hukum, Dewan Pengawas Syariah dll. Namun untuk mengawali rubrik syariah ini penulis tidak akan akan memaparkan secara keseluruhan mengenai hal-hal tersebut di atas, namun lebih kepada pokok permasalahan mengenai perbedaan yang mendasar antara prinsip syariah dengan prinsip konvensional.
1.      Beda Bank Syariah dengan Bank Konvensional
Sebelum membicarakan beberapa perbedaan sistem bank Islam dengan sistem bank konvensional, perlu diberikan suatu penjelasan perbedaan antara bagi hasil dan pemberian bunga dalam bidang perniagaan, khususnya dalam operasional bank. Selama 4 tahun mengabdi pada sebuah bank yang beroperasional secara syariah, penulis banyak menemukan kesalahan pemahaman di kalangan banyak orang yang menganggap bahwa bagi hasil tidak ada bedanya dengan pemberian / pengambilan bunga, untuk dapat memahami perbedaan yang sangat mendasar tersebut terlebih dahulu harus dipahami hal-hal sebagai berikut :
a.       Dasar perniagaan adalah untuk mencari keuntungan karena itu setiap pemilik modal mengharapkan setiap uang yang dikeluarkan akan mendapatkan keuntungan, ini sesuai dengan kaedah fiqh, yaitu : pembayaran/pembiayaan dibalas dengan ganjaran. Karena itu Islam menggalakkan umatnya untuk berdagang.
b.      Dalam pandangan Islam, uang yang disimpan tanpa digunakan tidak akan bertambah, justru jumlahnya semakin menurun dari tahun ke tahun, karena ia wajib membayar zakat sebanyak 2,5% pertahun hingga sampai dibawah nisab (batas minimal jumlah harta yang wajib dikeluarkan). Karena itu Islam mengakui konsep bunga yang diperoleh seseorang jika menyimpan uangnya di bank misalnya dan dianggap riba, kecuali jika bank itu diberikan kekuasaan untuk memakai uang tersebut. Lalu jika bank mendapat keuntungan, maka dibagi dengan orang tersebut berdasarkan berapa persen dari untung yang didapat, bukan berapa persen dari uang yang disimpan. Maka jumlah yang diterima dari bank itu dianggap sebagai untung.
c.       Islam tidak mengakui bunga dalam pembayaran hutang, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, yang artinya bahwa setiap hutang yang membawa keuntungan material bagi si pemberi hutang adalah riba.
d.      Tujuan Islam mengharamkan riba selain karena mengandung unsur penindasan, riba juga merupakan sistem yang hanya mengutamakan kepentingan individu saja tanpa memperhatikan kepentingan masyarakat, padahal Islam lebih mengutamakan kepentingan masyarakat dari pada individu.
Secara singkat perbedaan-perbedaan antara bunga dengan bagi hasil dapat terlihat pada tabel di berikut :
No.
Bunga
Bagi Hasil
1.
Penentuan bunga dibuat sewaktu perjanjian tanpa berdasarkan kepada untung/rugi.
Penentuan bagi hasil dibuat sewaktu perjanjian dengan berdasarkan kepada untung/rugi.
2.
Jumlah persen bunga berdasarkan jumlah uang (modal) yang ada.
Jumlah nisbah bagi hasil berdasarkan jumlah keuntungan yang telah dicapai.
3.
Pembayaran bunga tetap seperti perjanjian tanpa diambil pertimbangan apakah proyek yang dilaksanakan pihak kedua untung atau rugi.
Bagi hasil tergantung pada hasil proyek. Jika proyek tidak mendapat keuntungan atau mengalami kerugian, maka resikonya ditanggung kedua belah pihak.
4.
Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat walaupun jumlah keuntungan berlipat ganda.
Jumlah pemberian hasil keuntungan meningkat sesuai dengan peningkatan keuntungan yang didapat.
5.
Pengambilan/pembayaran bunga adalah haram.
Penerimaan/pembagian keuntungan adalah halal
Perbedaan pokok antara sistem bank Konvensional dengan sistem bank Islam secara ringkas dapat dilihat dari 4 (empat) aspek seperti terlihat pada tabel berikut ini :
No
Perbedaan Aspek
Bank  Islam
Bank Konvensional
1
Falsafah
Tidak berdasarkan atas bunga, spekulasi dan ketidakjelasan
Berdasarkan atas bunga
2
Operasional
-  Dana masyarakat berupa titipan dan investasi yang baru akan mendapatkan hasil juka diusahakan terlebih dahulu



B.     Pelarangan Riba
Umat Islam dilarang mengambil riba apapun jenisnya. Larangan supaya umat Islam tidak melibatkan diri dengan sumber riba bersumber dari berbagai surah dalam Al-Quran dan hadits Raulullah saw. 
1.      Larangan Riba dalam Al Quran
Larangan riba yang terdapat dalam Al-Quran tidak diturunkan sekaligus, melainkan diturunkan dalam empat tahap.
a.       Tahap pertama, menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang pada zahir-nya seolah-olah menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu perbuatan mendekati atau taqarrub kepada Allah. “Dan ,sesuatu riba(tambahan) yang kamu berikan agar dia menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan, apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat-gandakan (pahalanya)” (ar-Ruum: 39).
b.      Tahap kedua, riba digambarkan sebagai suatu yang buruk. Allah SWT mengancam akan memberi balasan yang keras kepada orang Yahudi yang memakan riba. “Maka, disebabkan kezaliman orang-orang  Yahudi, kami haramkan atas mereka(memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang darinya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir diantara mereka itu siksa yang pedih. “ (an-Nisa: 160-161)
c.       Tahap ketiga, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda. Para ahli tafsir berpendapat bahwa pengambilan bunga dengan tingkat yang cukup tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktikkan pada masa tersebut. Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. “(Ali-Imran: 130)
Ayat ini turun pada tahun ke-3 Hijriyah. Secara umum, ayat ini harus dipahami bahwa kriteria berlipat ganda bukanlah merupakan syarat dari terjadinya riba (jikalau berlipat ganda maka riba, tetapi jikalau kecil bukan riba), tetapi ini merupakan sifat umum dari praktik pembungaan uang pada saat itu. Demikian juga ayat ini harus dipahami secara komprehensif dengan ayat 278-279 dari surah al-Baqarah yang turun pada tahun ke-9 Hijriah (Keterangan lebih lanjut, lihat pembahasan “ Alasan pembenaran Pengambilan Riba”, poin “Berlipat Ganda”).
d.      Tahap keempat, Allah SWT dengan jelas dan tegas mengharamkan apa pun jenis tambahan yang diambil dari pinjaman. Ini adalah ayat terakhir yang diturunkan menyangkut riba. “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka, jika kamu tidak mengerjakan(meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan, jika kamu bertobat (dari pengambilan riba) maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya. “ (al-Baqarah: 278-279)
Ayat ini baru akan sempurna kita pahami jika kita cermati bersama asbabun nuzulnya. Abu Ja’far Muhammad bin Jariri ath-Thabari meriwayatkan, “Kaum Tsaqif, penduduk kota Thaif, telah membuat suatu kesepakatan dengan Rasulullah saw. Bahwa semua utang mereka, demikian juga piutang (tagihan0 mereka, yang berdasarkan riba agar dibekukan dan dikembalikan hanya pokok-nya saja. Setelah Fatkhul Makkah, Rasulullah menunjuk Itab bin Usaid sebagai Gubernur Makkah yang juga meliputi kawasan Thaif sebagai daerah administrasinya. Bani Amr bin Umair bin Auf adalah orang yang senantiasa meminjamkan uang secara riba kepada Bani Mughirah dan sejak zaman jahiliyah Bani Mughirah senantiasa membayarnya dengan tambahan riba. Setelah kedatangan Islam, mereka tetap memiliki kekayaan dan aset yang banyak. Karenanya, datanglah Bani Amr untuk menagih utang dengan tambahan (riba) dari bani Mughirah—seoerti sediakala—tetapi Bani Mughirah setelah memeluk Islam menolak untuk memberikan tambahan (riba) tersebut. Dilaporkanlah masalah tersebut kepada Gubernur Itab bin Usaid. Menanggapi masalah ini, Gubernur Itab langsung menulis surat kepada Rasulullah saw. Dan turunlah ayat di atas. Rasulullah saw. lantas menulis surat balasan kepada Gubernur Itab, ‘Jika mereka ridha atas ketentuan Allah di atas maka itu baik, tetapi jika mereka menolaknya maka kumandangkanlah ultimatum perang kepada mereka.”
2.      Larangan Riba dalam Hadits
Pelarangan riba dalam Islam tidak hanya merujuk pada Al-Quran, melainkan juga Al-Hadits. Hal ini sebagaimana posisi umum hadits yang berfungsi untuk menjelaskan lebih lanjut aturan yang telah digariskan melalui Al-Quran, pelarangan riba hadits terinci. Dalam amanat terakhirnya pada tanggal 9 Dzulhijjah tahun 10 Hijriah, Rasulullah saw masih menekankan sikap Islam yang melarang riba.
Selain itu, masih banyak lagi hadits yang menguraikan masalah riba. Diantaranya, diriwayatkan oleh Aun bin Abi Juhaifa, “Ayahku membeli seorang budak yang pekerjaannya membekam (mengeluarkan darah kotor dari kepala). Ayahku kemudian memusnahkan peralatan bekam si budak tersebut. Aku bertanya kepada ayah mengapa beliau melakukannya. Ayahku menjawab bahwa Rasulullah saw melarang untuk menerima uang dari transaksi darah, anjing, dan kasab budak perempuan. Beliau juga melaknat pekerjaan penato dan yang minta ditato, menerima dan memberi riba serta beliau melaknat para pembuat gambar.” (HR Bukhari no 2084 al-Buyu)
Diriwayatkan oleh Abu Said al-Khudri bahwa pada suatu ketika Bilal membawa barni (sejenis kurma berkualitas baik) ke hadapan Rasulullah saw dan beliau bertanya kepadanya, “Dari mana engkau mendapatkannya?” Bilal menjawab, “ Saya mempunyai sejumlah kurma dari jenis yang rendah mutunya dan menukarnya dua sha’ untuk satu sha’ kurma jenis barni untuk dimakan oleh Rasulullah saw, “Slepas itu Rasulullah saw terus berkata, “Hati-hati! Hati-hati!Ini sesungguhnya riba, ini sesungguhnya riba. Jangan berbuat begini, tetapi jika kamu membeli (kurma yang mutunya lebih tinggi), jualllah kurma yang mutunya rendah untuk mendapatkan uang dan kemudian gunakanlah uang tersebut untuk membeli kurma yang bermutu tinggi itu. “ ( HR Bukhari no. 2145, kitab al-Wakalah)
Diriwayatkan oleh Abdurahman bin Abu Bakar bahwa ayahnya berkata, “Rasulullah saw melarang penjualan emas dengan emas dan perak dengan perak kecuali sama beratnya, dan membolehkan kita menjual emas dengan perak dan begitu juga sebaliknya sesuai keinginan kita.” (HR Bukhari no. 2034, kitab al-Buyu)
Diriwayatkan oleh Samurah bin Jundub bahwa Rasulullah saw bersabda, “Malam tadi aku bermimpi, telah datang dua orang dan membawaku ke Tanah suci. Dalam perjalanan, sampailah kami ke suatu sungai daraah, di mana di dalamnya berdiri seorang laki-laki. Di pinggir sungai tersebut berdiri seorang laki-laki lain dengan batu di tangannya. Laki-laki yang di tengah sungai itu berusaha untuk keluar, tetapi laki-laki yang di pinggir sungai tadi melempari mulutnya dengan batu dan memaksanya kembali ke tempat asal. Aku bertanya, ‘Siapakah itu? Aku diberitahu bahwa laki-laki  yang di tengah sungai itu ialah orang yang memakan riba.”(HR Bukhari no 6525, kitab at-Ta/bir).
Jabir berkata bahwa Rasulullah saw mengutuk orang yang menerima riba, orang yang membeyarnya, dan orang yang mencatatnya, dan dua orang saksinya, kemudian beliau bersabda, “Mereka itu sama semuanya.”(HR Muslim no 2995, kitab al-Masaqqah).
C.    Sistem Bagi Hasil
Mengenai bagi hasil, ada dua metode yang dapat digunakan, yaitu profit sharing (bagi laba) danrevenue sharing (bagi pendapatan). Jika memakai metode revenue sharing, berarti yang dibagi hasil antara bank dan nasabah pembiayaan adalah pendapatan tanpa dikurangi dengan biaya-biaya.
Sedangkan apabila menggunakan metode profit sharing, maka yang dibagi hasil antara bank dengan nasabah pembiayaan adalah pendapatan setelah dikurangi biaya-biaya (laba). Namun, yang saat ini dipakai dalam praktik perbankan syariah adalah metode revenue sharing.
Sebagai ilustrasi, seorang pengusaha jasa konstruksi memperoleh proyek pembangunan jembatan dari pemerintah daerah dengan total nilai proyek Rp1,4 miliar, yang dibagi dalam tiga termin pembayaran (termin I Rp200 juta, termin II Rp400 juta, dan termin II Rp800 juta). Total modal yang dibutuhkan adalah Rp1 miliar, sementara ia hanya memiliki modal Rp400 juta. Maka ia dapat mengajukan penambahan modal kerja kepada bank syariah sebesar Rp600 juta. Atas permohonan nasabah tersebut, bank syariah akan memberikan pembiayaan berbasis bagi hasil berupa pemberian tambahan modal sejumlah Rp600 juta yang dijadikan penyertaan bank syariah dalam proyek tersebut dengan menggunakan akad kemitraan bagi hasil (musyarakah). Dalam hal ini, kontraktor dan bank syariah bermitra dalam bentuk kongsi penyertaan modal. Misalnya disepakati nisbah bagi hasil adalah 40 persen untuk pengusaha dan 60 persen untuk bank syariah. Misalnya juga disepakati proyeksi keuntungan total sebesar Rp400 juta. Maka ilustrasi pembayaran untuk pembiayaan modal kerja iB oleh pengusaha sebagai berikut:
Termin I, pembayaran dari pemerintah sebesar Rp200 juta, pengembalian pokok kepada bank syariah sebesar Rp100 juta dan bagi hasil bagi bank syariah sebesar Rp34,3 juta (1/7 x 60 persen x Rp400 juta).
Termin II, pembayaran dari pemerintah sebesar Rp400 juta, pengembalian pokok kepada bank syariah sebesar Rp200 juta dan bagi hasil bagi bank syariah sebesar Rp68,6 juta (2/7 x 60 persen x Rp400 juta).
Termin III, pembayaran dari pemerintah sebesar Rp800 juta, pengembalian pokok kepada bank syariah sebesar Rp300 juta dan bagi hasil bagi bank syariah sebesar Rp137,1 juta (3/7 x 60 persen x Rp400 juta).
Dari ilustrasi di atas, terlihat bahwa sistem bagi hasil di bank syariah berbeda dengan bunga pada bank konvensional. Kalau di bank kovensional, besarnya persentase bunga ditentukan di awal berdasarkan jumlah uang yang dipinjamkan. Misalnya 15 persen dari besar pinjaman, tanpa memperdulikan berapa keuntungan atau kerugian  dari usaha yang dibiayai.
Sedangkan dalam bagi hasil, besarnya bagi hasil tidak didasarkan pada jumlah pinjaman (pembiayaan), tetapi berdasarkan porsi (nisbah) tertentu dari keuntungan yang diperoleh, misalnya, 40:60 (40 persen keuntungan untuk bank dan 60 persen untuk deposan) atau 35:65 (35 persen untuk bank dan 65 persen untuk deposan) dan seterusnya. Disinilah letak nilai keadilan dari konsep bagi hasil yang ada di bank syariah.
D.    Sistem Bunga Konvensional
Dalam dunia perbankan tentu tidak asing dengan istilah pembagian bunga. Bunga bank dapat diartikan dengan balas jasa yang diberikan oleh bankyang berdasarkan prinsip konvensional kepada nasabah atau juga harga yang harus dibayar oleh pihak bank kepada nasabah yang memiliki simpanan atau sebaliknya, harga yang harus dibayar oleh nasabah kepada pihak bank kepada pihak bank karena telah memperoleh pinjaman. Banyak trik yang dilakukan lembaga simpan pinjam dalam mendapatkan konsumen, yaitu dengan bersaing dalam sistem bunga yang diterapkan. Jenis bank pun beragam, ada bank konvensional dan bank syariah, dan tentu berbeda pula dalam pembagian bunga.
Dalam pembagian bunga, Bank Konvensional sepenuhnya menerapkan sistem bunga atau riba. Ada dua macam bunga yang diberikan oleh bank yaitu bunga simpanan yan diberikan oleh pihak bank sebagai balas jasa kepada nasabah yang menyimpan uang dibank dan bunga pinjaman yang diberikan oleh pihak bank kepada nasabah peminjam dana pinjaman. Bank Konvensional menerapkan sistem suku bunga, selain itu hubungan dengan nasabah dalam bentuk kreditur-debitur serta berorientasi keuntungan.
Metode Perhitungan Bunga Tabungan Bank Konvensional
a.       Bunga Terendah
Bunga dihitung berdasarkan saldo terendah pada bulan berjalan
Bunga = Saldo Terendah x Persen bunga x ∑ Hari Mengendap / ∑ Hari dalam 1 Tahun
b.      Bunga Rata-rata
Bunga yang dihitung berdasarkan rata-rata saldo dalam 1 bulan
Saldo Rata-rata (SR)= ∑ (Saldo x ∑ Hari saldo mengendap) / ∑ Hari dalam 1 Tahun
Bunga = SR X Persen bungax ∑ Hari Mengendap / ∑ Hari dalam 1 tahun
c.       Bunga Harian
Bunga dihitung berdasarkan saldo setiap harinya
Bunga = ∑ (Saldo x Persen Bunga x ∑ Hari saldo mengendap) / ∑ Hari dalam 1 tahun



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.      perbedaan yang sangat mendasar tersebut terlebih dahulu harus dipahami hal-hal sebagai berikut.
2.      Mengenai bagi hasil, ada dua metode yang dapat digunakan, yaitu profit sharing (bagi laba) danrevenue sharing (bagi pendapatan). Jika memakai metode revenue sharing, berarti yang dibagi hasil antara bank dan nasabah pembiayaan adalah pendapatan tanpa dikurangi dengan biaya-biaya. Sedangkan apabila menggunakan metode profit sharing, maka yang dibagi hasil antara bank dengan nasabah pembiayaan adalah pendapatan setelah dikurangi biaya-biaya (laba).
B.     Penutup
Demikianlah makalah yang  kami presentasikan, dengan harapan dapat membantu rekan-rekan mahasiswa dalam memahami materi yang kami paparkan tentang Hukum Keuangan dan Perbankan Syariah. Kami menyadari bahwa makalah yang kami buat tidak lengkap dan tidak sempurna, oleh karena itu diharapkan tegur sapa konstruktif guna perbaikan makalah kami yang akan datang.




DAFTAR PUSTAKA