MAKALAH
HUKUM KEUANGAN DAN PERBANKAN SYARIAH
PERBEDAAN SISTEM KEUANGAN SYARIAH
DAN KONVENSIONAL
Disusun Oleh:
Kelompok VI
1.
Ruslan
2.
Ismail Fahmi
Dosen
Pembimbing: Meri Afrizal,
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)
MA’ARIF
SAROLANGUN
TAHUN AKADEMIK
2012/2013
BAB
I
PENDAHULUAN
Bank syariah
adalah bank yang beroperasi berdasarkan syariah atau prinsip agama Islam.
Sesuai dengan prinsip Islam yang melarang sistem bunga atau riba yang memberatkan,
maka bank syariah beroperasi berdasarkan kemitraan pada semua aktivitas bisnis
atas dasar kesetaraan dan keadilan.
Perbedaan
yang mendasar antara bank syariah dengan bank konvensional, antara lain :
1. Perbedaan
Falsafah
Perbedaan pokok antara bank konvensional dengan bank syariah terletak
pada landasan falsafah yang dianutnya. Bank syariah tidak melaksanakan sistem
bunga dalam seluruh aktivitasnya sedangkan bank kovensional justru
kebalikannya. Hal inilah yang menjadi perbedaan yang sangat mendalam terhadap
produk-produk yang dikembangkan oleh bank syariah, dimana untuk menghindari
sistem bunga maka sistem yang dikembangkan adalah jual beli serta kemitraan
yang dilaksanakan dalam bentuk bagi hasil. Dengan demikian sebenarnya semua
jenis transaksi perniagaan melalu bank syariah diperbolehkan asalkan tidak
mengandung unsur bunga (riba). Riba secara sederhana berarti sistem bunga
berbunga atau compound interest dalam semua prosesnya bisa mengakibatkan
membengkaknya kewajiban salah satu pihak seperti efek bola salju pada cerita di
awal artikel ini. Sangat menguntungkan saya tapi berakibat fatal untuk banknya.
Riba, sangat berpotensi untuk mengakibatkan keuntungan besar disuatu pihak
namun kerugian besar dipihak lain, atau malah ke dua-duanya.
2. Konsep
Pengelolaan Dana Nasabah
Dalam sistem bank syariah dana nasabah dikelola dalam bentuk titipan
maupun investasi. Cara titipan dan investasi jelas berbeda dengan deposito pada
bank konvensional dimana deposito merupakan upaya mem-bungakan uang. Konsep
dana titipan berarti kapan saja si nasabah membutuhkan, maka bank syariah harus
dapat memenuhinya, akibatnya dana titipan menjadi sangat likuid. Likuiditas
yang tinggi inilah membuat dana titipan kurang memenuhi syarat suatu investasi
yang membutuhkan pengendapan dana. Karena pengendapan dananya tidak lama alias
cuma titipan maka bank boleh saja tidak memberikan imbal hasil. Sedangkan jika
dana nasabah tersebut diinvestasikan, maka karena konsep investasi adalah usaha
yang menanggung risiko, artinya setiap kesempatan untuk memperoleh keuntungan
dari usaha yang dilaksanakan, didalamnya terdapat pula risiko untuk menerima
kerugian, maka antara nasabah dan banknya sama-sama saling berbagi baik
keuntungan maupun risiko.
3. Kewajiban
Mengelola Zakat
Bank syariah diwajibkan menjadi pengelola zakat yaitu dalam arti wajib
membayar zakat, menghimpun, mengadministrasikannya dan mendistribusikannya. Hal
ini merupakan fungsi dan peran yang melekat pada bank syariah untuk
memobilisasi dana-dana sosial (zakat. Infak, sedekah)
4. Bagaimana
Nasabah Mendapat Keuntungan
Jika bank konvensional membayar bunga kepada nasabahnya, maka bank
syariah membayar bagi hasil keuntungan sesuai dengan kesepakatan. Kesepakatan
bagi hasil ini ditetapkan dengan suatu angka ratio bagi hasil atau nisbah.
Nisbah antara bank dengan nasabahnya ditentukan di awal, misalnya ditentukan porsi
masing-masing pihak 60:40, yang berarti atas hasil usaha yang diperolah akan
didisitribusikan sebesar 60% bagi nasabah dan 40% bagi bank. Angka nisbah ini
dengan mudah Anda dapatkan informasinya dengan bertanya ke customer service
atau datang langsung dan melihat papan display “ Perhitugan dan Distribusi Bagi
Hasil” yang ada di cabang bank syariah.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Perbedaan Sistem Keuangan Syariah dengan Konvensional
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah
supaya kamu mendapat keberuntungan.” QS. Ali Imron, 3:130
Berbicara
mengenai perbankan syariah sebenarnya tidak lengkap tanpa mengurai bagaimana
sejarah, tujuan penerapan prinsip syariah, batasan-batasan prinsip syariah,
jenis produk pembiayaan syariah, ketentuan hukum, Dewan Pengawas Syariah dll.
Namun untuk mengawali rubrik syariah ini penulis tidak akan akan memaparkan
secara keseluruhan mengenai hal-hal tersebut di atas, namun lebih kepada pokok
permasalahan mengenai perbedaan yang mendasar antara prinsip syariah dengan
prinsip konvensional.
1.
Beda Bank Syariah dengan Bank Konvensional
Sebelum
membicarakan beberapa perbedaan sistem bank Islam dengan sistem bank
konvensional, perlu diberikan suatu penjelasan perbedaan antara bagi hasil dan
pemberian bunga dalam bidang perniagaan, khususnya dalam operasional bank.
Selama 4 tahun mengabdi pada sebuah bank yang beroperasional secara syariah,
penulis banyak menemukan kesalahan pemahaman di kalangan banyak orang yang
menganggap bahwa bagi hasil tidak ada bedanya dengan pemberian / pengambilan bunga,
untuk dapat memahami perbedaan yang sangat mendasar tersebut terlebih dahulu
harus dipahami hal-hal sebagai berikut :
a.
Dasar perniagaan adalah untuk mencari keuntungan
karena itu setiap pemilik modal mengharapkan setiap uang yang dikeluarkan akan
mendapatkan keuntungan, ini sesuai dengan kaedah fiqh, yaitu :
pembayaran/pembiayaan dibalas dengan ganjaran. Karena itu Islam menggalakkan
umatnya untuk berdagang.
b.
Dalam pandangan Islam, uang yang disimpan tanpa
digunakan tidak akan bertambah, justru jumlahnya semakin menurun dari tahun ke
tahun, karena ia wajib membayar zakat sebanyak 2,5% pertahun hingga sampai
dibawah nisab (batas minimal jumlah harta yang wajib dikeluarkan). Karena itu
Islam mengakui konsep bunga yang diperoleh seseorang jika menyimpan uangnya di
bank misalnya dan dianggap riba, kecuali jika bank itu diberikan kekuasaan
untuk memakai uang tersebut. Lalu jika bank mendapat keuntungan, maka dibagi
dengan orang tersebut berdasarkan berapa persen dari untung yang didapat, bukan
berapa persen dari uang yang disimpan. Maka jumlah yang diterima dari bank itu
dianggap sebagai untung.
c.
Islam tidak mengakui bunga dalam pembayaran hutang,
sebagaimana sabda Rasulullah SAW, yang artinya bahwa setiap hutang yang membawa
keuntungan material bagi si pemberi hutang adalah riba.
d.
Tujuan Islam mengharamkan riba selain karena
mengandung unsur penindasan, riba juga merupakan sistem yang hanya mengutamakan
kepentingan individu saja tanpa memperhatikan kepentingan masyarakat, padahal
Islam lebih mengutamakan kepentingan masyarakat dari pada individu.
Secara
singkat perbedaan-perbedaan antara bunga dengan bagi hasil dapat terlihat pada
tabel di berikut :
No.
|
Bunga
|
Bagi Hasil
|
1.
|
Penentuan
bunga dibuat sewaktu perjanjian tanpa berdasarkan kepada untung/rugi.
|
Penentuan
bagi hasil dibuat sewaktu perjanjian dengan berdasarkan kepada untung/rugi.
|
2.
|
Jumlah
persen bunga berdasarkan jumlah uang (modal) yang ada.
|
Jumlah
nisbah bagi hasil berdasarkan jumlah keuntungan yang telah dicapai.
|
3.
|
Pembayaran
bunga tetap seperti perjanjian tanpa diambil pertimbangan apakah proyek yang
dilaksanakan pihak kedua untung atau rugi.
|
Bagi hasil
tergantung pada hasil proyek. Jika proyek tidak mendapat keuntungan atau
mengalami kerugian, maka resikonya ditanggung kedua belah pihak.
|
4.
|
Jumlah pembayaran
bunga tidak meningkat walaupun jumlah keuntungan berlipat ganda.
|
Jumlah
pemberian hasil keuntungan meningkat sesuai dengan peningkatan keuntungan
yang didapat.
|
5.
|
Pengambilan/pembayaran
bunga adalah haram.
|
Penerimaan/pembagian
keuntungan adalah halal
|
Perbedaan
pokok antara sistem bank Konvensional dengan sistem bank Islam secara ringkas
dapat dilihat dari 4 (empat) aspek seperti terlihat pada tabel berikut ini :
No
|
Perbedaan Aspek
|
Bank Islam
|
Bank Konvensional
|
1
|
Falsafah
|
Tidak
berdasarkan atas bunga, spekulasi dan ketidakjelasan
|
Berdasarkan
atas bunga
|
2
|
Operasional
|
-
Dana masyarakat berupa titipan dan investasi yang baru akan mendapatkan hasil
juka diusahakan terlebih dahulu
|
B.
Pelarangan
Riba
Umat Islam
dilarang mengambil riba apapun jenisnya. Larangan supaya umat Islam tidak
melibatkan diri dengan sumber riba bersumber dari berbagai surah dalam Al-Quran
dan hadits Raulullah saw.
1. Larangan Riba dalam Al Quran
Larangan
riba yang terdapat dalam Al-Quran tidak diturunkan sekaligus, melainkan diturunkan
dalam empat tahap.
a.
Tahap pertama, menolak
anggapan bahwa pinjaman riba yang pada zahir-nya seolah-olah menolong mereka
yang memerlukan sebagai suatu perbuatan mendekati atau taqarrub kepada Allah. “Dan
,sesuatu riba(tambahan) yang kamu berikan agar dia menambah pada harta manusia,
maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan, apa yang kamu berikan berupa
zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat
demikian) itulah orang-orang yang melipat-gandakan (pahalanya)” (ar-Ruum: 39).
b.
Tahap kedua, riba
digambarkan sebagai suatu yang buruk. Allah SWT mengancam akan memberi balasan
yang keras kepada orang Yahudi yang memakan riba. “Maka, disebabkan
kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas mereka(memakan makanan)
yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka
banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan
riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang darinya, dan karena mereka
memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk
orang-orang yang kafir diantara mereka itu siksa yang pedih. “ (an-Nisa:
160-161)
c.
Tahap ketiga, riba
diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda. Para
ahli tafsir berpendapat bahwa pengambilan bunga dengan tingkat yang cukup
tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktikkan pada masa tersebut. Allah
berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan
berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan. “(Ali-Imran: 130)
Ayat ini turun pada tahun ke-3
Hijriyah. Secara umum, ayat ini harus dipahami bahwa kriteria berlipat ganda
bukanlah merupakan syarat dari terjadinya riba (jikalau berlipat ganda maka
riba, tetapi jikalau kecil bukan riba), tetapi ini merupakan sifat umum dari
praktik pembungaan uang pada saat itu. Demikian juga ayat ini harus dipahami
secara komprehensif dengan ayat 278-279 dari surah al-Baqarah yang turun pada
tahun ke-9 Hijriah (Keterangan lebih lanjut, lihat pembahasan “ Alasan
pembenaran Pengambilan Riba”, poin “Berlipat Ganda”).
d.
Tahap keempat, Allah SWT
dengan jelas dan tegas mengharamkan apa pun jenis tambahan yang diambil dari
pinjaman. Ini adalah ayat terakhir yang diturunkan menyangkut riba. “Hai
orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka, jika kamu tidak
mengerjakan(meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya
akan memerangimu. Dan, jika kamu bertobat (dari pengambilan riba) maka bagimu
pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya. “ (al-Baqarah:
278-279)
Ayat ini baru akan sempurna kita pahami jika kita
cermati bersama asbabun nuzulnya. Abu Ja’far Muhammad bin Jariri ath-Thabari
meriwayatkan, “Kaum Tsaqif, penduduk kota Thaif, telah membuat suatu
kesepakatan dengan Rasulullah saw. Bahwa semua utang mereka, demikian juga
piutang (tagihan0 mereka, yang berdasarkan riba agar dibekukan dan dikembalikan
hanya pokok-nya saja. Setelah Fatkhul Makkah, Rasulullah menunjuk Itab bin
Usaid sebagai Gubernur Makkah yang juga meliputi kawasan Thaif sebagai daerah
administrasinya. Bani Amr bin Umair bin Auf adalah orang yang senantiasa
meminjamkan uang secara riba kepada Bani Mughirah dan sejak zaman jahiliyah
Bani Mughirah senantiasa membayarnya dengan tambahan riba. Setelah kedatangan
Islam, mereka tetap memiliki kekayaan dan aset yang banyak. Karenanya,
datanglah Bani Amr untuk menagih utang dengan tambahan (riba) dari bani
Mughirah—seoerti sediakala—tetapi Bani Mughirah setelah memeluk Islam menolak
untuk memberikan tambahan (riba) tersebut. Dilaporkanlah masalah tersebut
kepada Gubernur Itab bin Usaid. Menanggapi masalah ini, Gubernur Itab langsung
menulis surat kepada Rasulullah saw. Dan turunlah ayat di atas. Rasulullah saw.
lantas menulis surat balasan kepada Gubernur Itab, ‘Jika mereka ridha atas
ketentuan Allah di atas maka itu baik, tetapi jika mereka menolaknya maka
kumandangkanlah ultimatum perang kepada mereka.”
2.
Larangan Riba dalam Hadits
Pelarangan riba dalam Islam tidak hanya merujuk pada
Al-Quran, melainkan juga Al-Hadits. Hal ini sebagaimana posisi umum hadits yang
berfungsi untuk menjelaskan lebih lanjut aturan yang telah digariskan melalui
Al-Quran, pelarangan riba hadits terinci. Dalam amanat terakhirnya pada tanggal
9 Dzulhijjah tahun 10 Hijriah, Rasulullah saw masih menekankan sikap Islam yang
melarang riba.
Selain itu, masih banyak lagi hadits yang menguraikan
masalah riba. Diantaranya, diriwayatkan oleh Aun bin Abi Juhaifa, “Ayahku
membeli seorang budak yang pekerjaannya membekam (mengeluarkan darah kotor dari
kepala). Ayahku kemudian memusnahkan peralatan bekam si budak tersebut. Aku
bertanya kepada ayah mengapa beliau melakukannya. Ayahku menjawab bahwa
Rasulullah saw melarang untuk menerima uang dari transaksi darah, anjing, dan
kasab budak perempuan. Beliau juga melaknat pekerjaan penato dan yang minta
ditato, menerima dan memberi riba serta beliau melaknat para pembuat gambar.”
(HR Bukhari no 2084 al-Buyu)
Diriwayatkan oleh Abu Said al-Khudri bahwa pada suatu
ketika Bilal membawa barni (sejenis kurma berkualitas baik) ke hadapan
Rasulullah saw dan beliau bertanya kepadanya, “Dari mana engkau
mendapatkannya?” Bilal menjawab, “ Saya mempunyai sejumlah kurma dari jenis yang
rendah mutunya dan menukarnya dua sha’ untuk satu sha’ kurma jenis barni untuk
dimakan oleh Rasulullah saw, “Slepas itu Rasulullah saw terus berkata,
“Hati-hati! Hati-hati!Ini sesungguhnya riba, ini sesungguhnya riba. Jangan
berbuat begini, tetapi jika kamu membeli (kurma yang mutunya lebih tinggi),
jualllah kurma yang mutunya rendah untuk mendapatkan uang dan kemudian
gunakanlah uang tersebut untuk membeli kurma yang bermutu tinggi itu. “ ( HR
Bukhari no. 2145, kitab al-Wakalah)
Diriwayatkan oleh Abdurahman bin Abu Bakar bahwa
ayahnya berkata, “Rasulullah saw melarang penjualan emas dengan emas dan perak
dengan perak kecuali sama beratnya, dan membolehkan kita menjual emas dengan
perak dan begitu juga sebaliknya sesuai keinginan kita.” (HR Bukhari no. 2034,
kitab al-Buyu)
Diriwayatkan oleh Samurah bin Jundub bahwa Rasulullah
saw bersabda, “Malam tadi aku bermimpi, telah datang dua orang dan membawaku ke
Tanah suci. Dalam perjalanan, sampailah kami ke suatu sungai daraah, di mana di
dalamnya berdiri seorang laki-laki. Di pinggir sungai tersebut berdiri seorang
laki-laki lain dengan batu di tangannya. Laki-laki yang di tengah sungai itu
berusaha untuk keluar, tetapi laki-laki yang di pinggir sungai tadi melempari
mulutnya dengan batu dan memaksanya kembali ke tempat asal. Aku bertanya,
‘Siapakah itu? Aku diberitahu bahwa laki-laki yang di tengah sungai itu
ialah orang yang memakan riba.”(HR Bukhari no 6525, kitab at-Ta/bir).
Jabir berkata bahwa Rasulullah saw mengutuk orang yang
menerima riba, orang yang membeyarnya, dan orang yang mencatatnya, dan dua
orang saksinya, kemudian beliau bersabda, “Mereka itu sama semuanya.”(HR Muslim
no 2995, kitab al-Masaqqah).
C. Sistem Bagi Hasil
Mengenai bagi hasil,
ada dua metode yang dapat digunakan, yaitu profit sharing (bagi
laba) danrevenue sharing (bagi pendapatan). Jika memakai
metode revenue sharing, berarti yang dibagi hasil antara bank dan
nasabah pembiayaan adalah pendapatan tanpa dikurangi dengan biaya-biaya.
Sedangkan apabila
menggunakan metode profit sharing, maka yang dibagi hasil antara
bank dengan nasabah pembiayaan adalah pendapatan setelah dikurangi biaya-biaya
(laba). Namun, yang saat ini dipakai dalam praktik perbankan syariah adalah
metode revenue sharing.
Sebagai ilustrasi,
seorang pengusaha jasa konstruksi memperoleh proyek pembangunan jembatan dari
pemerintah daerah dengan total nilai proyek Rp1,4 miliar, yang dibagi dalam
tiga termin pembayaran (termin I Rp200 juta, termin II Rp400 juta, dan termin
II Rp800 juta). Total
modal yang dibutuhkan adalah Rp1 miliar, sementara ia hanya memiliki modal
Rp400 juta. Maka ia dapat mengajukan penambahan modal kerja kepada bank syariah
sebesar Rp600 juta. Atas permohonan nasabah tersebut, bank syariah akan
memberikan pembiayaan berbasis bagi hasil berupa pemberian tambahan modal
sejumlah Rp600 juta yang dijadikan penyertaan bank syariah dalam proyek
tersebut dengan menggunakan akad kemitraan bagi hasil (musyarakah).
Dalam hal ini, kontraktor dan bank syariah
bermitra dalam bentuk kongsi penyertaan modal. Misalnya disepakati nisbah bagi
hasil adalah 40 persen untuk pengusaha dan 60 persen untuk bank syariah.
Misalnya juga disepakati proyeksi keuntungan total sebesar Rp400 juta. Maka
ilustrasi pembayaran untuk pembiayaan modal kerja iB oleh pengusaha sebagai
berikut:
Termin
I, pembayaran dari pemerintah
sebesar Rp200 juta, pengembalian pokok kepada bank syariah sebesar Rp100 juta
dan bagi hasil bagi bank syariah sebesar Rp34,3 juta (1/7 x 60 persen x Rp400
juta).
Termin
II, pembayaran dari pemerintah
sebesar Rp400 juta, pengembalian pokok kepada bank syariah sebesar Rp200 juta
dan bagi hasil bagi bank syariah sebesar Rp68,6 juta (2/7 x 60 persen x Rp400
juta).
Termin
III, pembayaran dari pemerintah
sebesar Rp800 juta, pengembalian pokok kepada bank syariah sebesar Rp300 juta
dan bagi hasil bagi bank syariah sebesar Rp137,1 juta (3/7 x 60 persen x Rp400
juta).
Dari ilustrasi di atas,
terlihat bahwa sistem bagi hasil di bank syariah berbeda dengan bunga pada bank
konvensional. Kalau di bank kovensional, besarnya persentase bunga ditentukan
di awal berdasarkan jumlah uang yang dipinjamkan. Misalnya 15 persen dari besar
pinjaman, tanpa memperdulikan berapa keuntungan atau kerugian dari usaha
yang dibiayai.
Sedangkan dalam bagi
hasil, besarnya bagi hasil tidak didasarkan pada jumlah pinjaman (pembiayaan),
tetapi berdasarkan porsi (nisbah) tertentu dari keuntungan yang diperoleh,
misalnya, 40:60 (40 persen keuntungan untuk bank dan 60 persen untuk deposan)
atau 35:65 (35 persen untuk bank dan 65 persen untuk deposan) dan seterusnya. Disinilah
letak nilai keadilan dari konsep bagi hasil yang ada di bank syariah.
D.
Sistem Bunga Konvensional
Dalam dunia perbankan tentu tidak asing dengan istilah
pembagian bunga. Bunga bank dapat diartikan dengan balas jasa yang diberikan
oleh bankyang berdasarkan prinsip konvensional kepada nasabah atau juga harga
yang harus dibayar oleh pihak bank kepada nasabah yang memiliki simpanan atau
sebaliknya, harga yang harus dibayar oleh nasabah kepada pihak bank kepada
pihak bank karena telah memperoleh pinjaman. Banyak trik yang dilakukan lembaga
simpan pinjam dalam mendapatkan konsumen, yaitu dengan bersaing dalam sistem
bunga yang diterapkan. Jenis bank pun beragam, ada bank konvensional dan bank
syariah, dan tentu berbeda pula dalam pembagian bunga.
Dalam pembagian bunga, Bank Konvensional sepenuhnya
menerapkan sistem bunga atau riba. Ada dua macam bunga yang diberikan oleh bank
yaitu bunga simpanan yan diberikan oleh pihak bank sebagai balas jasa kepada
nasabah yang menyimpan uang dibank dan bunga pinjaman yang diberikan oleh pihak
bank kepada nasabah peminjam dana pinjaman. Bank Konvensional menerapkan sistem
suku bunga, selain itu hubungan dengan nasabah dalam bentuk kreditur-debitur
serta berorientasi keuntungan.
Metode
Perhitungan Bunga Tabungan Bank Konvensional
a. Bunga
Terendah
Bunga dihitung berdasarkan saldo
terendah pada bulan berjalan
Bunga = Saldo Terendah x Persen
bunga x ∑ Hari Mengendap / ∑ Hari dalam 1 Tahun
b.
Bunga Rata-rata
Bunga yang dihitung berdasarkan
rata-rata saldo dalam 1 bulan
Saldo Rata-rata (SR)= ∑ (Saldo x ∑
Hari saldo mengendap) / ∑ Hari dalam 1 Tahun
Bunga = SR X Persen bungax ∑ Hari
Mengendap / ∑ Hari dalam 1 tahun
c.
Bunga Harian
Bunga dihitung berdasarkan saldo
setiap harinya
Bunga = ∑ (Saldo x Persen Bunga x ∑ Hari saldo
mengendap) / ∑ Hari dalam 1 tahun
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. perbedaan
yang sangat mendasar tersebut terlebih dahulu harus dipahami hal-hal sebagai
berikut.
2. Mengenai bagi hasil, ada dua metode yang dapat digunakan,
yaitu profit sharing (bagi laba) danrevenue
sharing (bagi pendapatan). Jika memakai metode revenue
sharing, berarti yang dibagi hasil antara bank dan nasabah pembiayaan
adalah pendapatan tanpa dikurangi dengan biaya-biaya. Sedangkan apabila
menggunakan metode profit sharing, maka yang dibagi hasil antara
bank dengan nasabah pembiayaan adalah pendapatan setelah dikurangi biaya-biaya
(laba).
B.
Penutup
Demikianlah makalah yang kami
presentasikan, dengan harapan dapat membantu rekan-rekan mahasiswa dalam
memahami materi yang kami paparkan tentang Hukum Keuangan dan Perbankan Syariah.
Kami menyadari bahwa makalah yang kami buat tidak lengkap dan tidak sempurna,
oleh karena itu diharapkan tegur sapa konstruktif guna perbaikan makalah kami
yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA